Reduksi Netralitas
Reduksi Netralitas
oleh: Ahmad Mushoddaq Abror
Kata “netral” adalah kata-kata yang marak kita dengar untuk menunjukkan
ketidakberpihakan pembuat pernyataan terhadap kubu ataupun fraksi yang ada
disekitarnya. Akan tetapi bila hanya dipahami seperti demikian dapat kita perhatikan
kembali, sebenarnya mendeklarasikan kenetralan yang seperti itu sama halnya
dengan membentuk fraksi ataupun golongan lainnya. Tentu realitas yang seperti
itu saja tentu malah menyalahi makna “netral” itu sendiri. Maka tidak heran
bila kemudian ada orang yang membuta istilah “tidak ada manusia yang netral”
karena kenetralan itu sendirilah yang membuatnya tidak netral.
Benarkah seperti itu arti dari menjadi "Netral"...?
Kata adalah unsur paling
sederhana dari perwujudan makna-makna di kepala kita yang kemudian saling bersusun guna
menyampaikan suatu informasi. Sedangkan informasi yang berpendar di kepala kita
itu bisa berarti dua, bisa jadi tepat atau juga bisa jadi tidak tepat
tergantung dari kemampuan kita menginterpretasikan makna yang ingin kita
sampaikan dalam bentuk kata demi kata. Maka kesalahan interpretasi makna-makna menjadi kata-kata yang kita gunakan juga dapat membuahkan informasi
yang tidak tepat dan boleh jadi mengundang fenomena sosial.
Lalu apakah arti netral itu sebenarnya..?
Secara bahasa dalam KBBI dituliskan
bahwa kata “netral” tergolong dalam kata yang Homonim, yang artinya kata
“netral” memiliki lebih dari satu makna untuk kata dengan pelafalan yang sama. Diantara
makna-makna tersebut, setidaknya ada dua makna yang sesuai dengan topik pembicaraan kita yang dapat menjadi pemicu fenomena sosial. Pertama, netral berarti tidak berpihak
(tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak). Kedua, netral
berarti bebas; tidak terikat.
Pemahaman
dari segi bahasa saja tentu belum cukup, Miftah Toha guru besar ilmu
administrasi negara Universitas Gadjah Mada menuturkan dalam salah satu
artikelnya yang berjudul “Netralitas Administrasi Negara” beliau menyebutkan bahwa
netralitas yang baik tidak boleh memihak di antara yang pro dan yang kontra.
Akan tetapi, sebenarnya netralitas adalah
memihak kebenaran sesuai dengan pertimbangan yang dituntun oleh pertimbangan
ilmiah dan suara hati nurani[1].
Dari kedua difinisi tersebut bisa kita
tarik kesimpulan bahwa, bersikap netral tidak dapat hanya diartikan dengan ketidakterikatan dengan Pro ataupun Kontra kemudian hidup dengan freelance tanpa condong ke salah satu
kelompok. Akan tetapi lebih tepatnya, netral adalah adalah memposisikan diri
untuk bersih dari segala bentuk subyektivitas kelompok dengan berpedoman pada
panduan yang obyektif (kebenaran) dan integral.
Berpihak pada nilai kebenaran..?
Bukannya itu sama saja tidak netral..?
Pertanyaan
seperti ini tentu tidak setara, pasalnya “Kebenaran” (atau kita bisa
menyebutnya “Haq”) dan “Keburukan”(Kebathilan) dengan “Pro” dan “Kontra” pada
dasarnya adalah dua hal yang tidak sebanding. Haq dan Bathil adalah nilai yang berasal
dari penilaian yang empiris juga obyektif, penilaiannya juga disesuaikan dengan
perasaan hati nurani manusia. Dimana secara alamiah hati nurani manusia
cenderung pada nilai-nilai yang Haq dan tidak nyaman dengan nilai-nilai yang bernuansa Kebathilan.
Di
lain sisi, “Pro” dan “Kontra” adalah sebuah gelar yang sering kali disandarkan
kepada apa yang disukai ataupun tidak disukai oleh manusia. Dengan kata lain,
dasar dari “Pro” dan “Kontra” adalah kesenangan pribadi atau nafsu manusia yang
tentunya tidak akan ada habisnya dan tidak akan terpuaskan. Dasar seperti ini
tentunya bila terus dipertahankan akan menimbulkan suatu fenomena baru yang unik pada suatu masyarakat sosial, dan realita tersebut kebanyakan merusak. Bisa dibilang dari sanalah bibit-bibit fanatisme terwujud, dan kita tahu sendiri dampak-dampak dari munculnya fanatisme tersebut, kericuhan supporter misalkan.
Maka dari itu “Haq” dan “Bathil” dengan “Pro” dan “Kontra” tentu tidak dapat disandingkan ataupun disebandingkan, karena keduanya tidak setara.
Maka dari itu “Haq” dan “Bathil” dengan “Pro” dan “Kontra” tentu tidak dapat disandingkan ataupun disebandingkan, karena keduanya tidak setara.
Mari coba kita lihat beberapa mekanisme
peran sosial (social role) non
politik yang bekerja dengan berdasar pada netralitas yang sesuai dengan
definisi yang baru kita simpulkan. Pertama
hakim, lihatlah bagaimana hakim
bekerja, dia harus berada di posisi yang netral dan bersih dari subyektivitas
ataupun kecenderungan untuk membela antara penuntut ataupun terdakwa. Hakim
berpegang pada pedoman hukum serta kode etik hakim dalam menentukan perkara.
Kedua
Presidium, sama halnya hakim dalam membuat keputusan
yang adil dan menjalankan persidangan dengan lancar presidium membutuhkan kode
etik serta peraturan sidang untuk menjaga keamanan berlangsungnya sidang dan
sikap yang obyektif nan bijak dalam menerima masukan dan memutuska dalam
sidang. Begitu juga dengan wasit, dan
hampir di seluruh linie lainnya yang disitu menegakkan yang benar diatas yang
salah menggunakan konsep yang sama, tentu ini lebih dari sekedar pro ataupun
kontra.
3. Bahaya Subyektif dalam Berinteraksi Sosial.
Kehilangan
obyektivitas dalam berinteraksi sosial tentu berbahaya, dinalar sedikitpun kita
akan bisa tahu, tenggelam dalam subyektivitas pribadi dalam berinteraksi sosial
dapat menimbulkan banyak perseteruan karena pikirannya selalu terkengkang
dengan yang namanya “Pro” dan “Kontra” keterikatan untuk membela apa yang kita sukai secara pribadi. Ditinjau dari sumbernya yakni, nafsu
atau syahwat manusia dapat kita
pastikan perseteruan ini tidak akan ada habisnya karena setiap individu akan senantiasa membela(memaksakan) keinginannya pribadi (a.k.a subyektivitasnya) atas individu
yang lain.
Keadaan
yang demikian bila berlanjut tentu akan berbahaya, seorang individu yang
terlalu lama mengikuti subyektivitas pribadinya dapat kehilangan obyektivitas
dan fungsi hati nuraninya, sehingga tidak mampu lagi merasakan yang baik maupun
yang buruk, yang ada tinggal ingin karena suka atau tidak ingin karena tidak suka.
Permasalahannya adalah subyektivitas manusia itu bisa berarti 2 hal bersifat
baik, atau bersifat buruk. Kata kunci untuk syahwat
manusia cukup sederhana “kesenangan”, dan tidak semua kesenangan itu selalu
baik, karena pada dasarnya semua yang baik itu hanya benar-benar baik pada
porsinya masing-masing.
Landasan
berpikir yang subyektif ini bila sudah diadopsi oleh suatu masyarakat dan
terkulturisasi, dapat mengakibatkan implikasi yang sama seperti di atas, hanya
saja levelnya bukan lagi individu melainkan menjadi sebuah pola pikir kolektif yang diadopsi masyarakat umum bahkan bangsa.
Setidaknya itulah mengapa dapat kita dapati hari ini ada negara yang melegalkan
sesuatu yang merusak moral seperti zina, LGBT, pacaran, judi, prostitusi, dsb.
Bukankah
untuk memisahkan air dengan kotoran di dalamnya kita butuh saringan, ketika pemisah
itu dihilangkan kira-kira apa sajakah yang akan kau dapat..?
4. Anjuran dalam alquran untuk
bersikap netral.
bagi umat islam, anjuran netralitas
dalam berkehidupan merupakan salah satu perintah yang maktubah (tertulis) di dalam kitab suci mereka yakni, alquranul
karim. Diantaranya:
“
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah rasul (muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (alquran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[2]
“Sungguh,
kami telah menurunkan kitab (alquran) kepadamu (muhammad) membawa kebenaran,
agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang yang berkhianat.”[3]
“Dan
hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan
waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu...”[4]
“Dan
jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan
mereka hanyalah membuat kebohongan”[5]
Secara keseluruhan bisa kita pahami
alquran memerintahkan orang-orang yang beriman dibeberapa ayat dan manusia
seluruhnya untuk berpegang pada hukum dan berlepas dari subyektivitas manusia
yang relatif merusak dan tak berujung.
Bukankah hukum yang ada hari ini juga
buatan manusia?
Benar sekali, bahwa hukum kita adalah
hukum buatan manusia juga. Bukankah itu berarti hukum hari ini juga merupakan
hasil subyektivitas manusia?
Ya, hukum hari ini adalah subyektivitas
manusia. Hanya jika dalam perumusannya mengesampingkan hukum tuhan yang ada.
Bukankah kita tahu, di mana-mana yang membuat hukum adalah yang berkuasa.
Pernahkah anda mendapati sebuah birokrasi pemerintahan yang berdaulat
memasrahkan perumusan hukum pada rakyat jelata kemudian negara ini berjalan
dengan sistematis sebagaimana mestinya, tentu tidak. Maka hukum bagi manusia
yang paling berhak menentukannya pertama kali adalah yang berkuasa atasnya,
yakni tentu adalah tuhan.
Jangan katakan hari ini anda masih
tidak percaya tuhan. Karena itu sudah terbukti hari ini sebagai kecacatan
logika, kesesatan berpikir, dan kesalahpahaman konsep berpikir yang irrasional dan patut ditinggalkan,
seprofesor apapun anda.
Demikian adalah bagian dari hasil
analisa penulis yang boleh jadi kurang tepat atau terdapat kesalahan. Anda
bebas setuju ataupun tidak dengan analisa tersebut, hanya saja jangan memaki,
itu hanya memperlihatkan seberapa dangkal dan bodoh kualitas berpikir anda.
Bila anda punya pandangan lain tentu penulis sangat menerima, karena pada dasarnya
setiap orang berbicara ataupun berargumen sesuai kadar ilmu pengetahuan dalam
kepalanya dan bertindak juga sesuai hal tersebut, jadi mari saling menghargai.
Komentar
Posting Komentar