Kata M. Natsir Tentang Persatuan, Perpecahan, dalam lingkup Organisasi Keumatan


Kata M. Natsir Tentang Persatuan, Perpecahan, dalam lingkup Organisasi Keumatan

Oleh: Ahmad Mushoddaq Abror




Pengantar
            Perpecahan merupakan suatu obyek bahasan yang boleh dibilang tidak akan pernah terpisah dari interaksi sosial, karena selama masih terjadi hubungan timbal balik berkonflik itu boleh jadi tidak bisa dihindari. Hanya saja perpecahan adalah sub bab yang berbeda dengan konflik sosial, karena konflik sosial adalah hampir sesuatu konsekuensi pasti sedangkan berpecah adalah pilihan yang bisa diambil maupun tidak.
            Tulisan ini berangkat dari salah satu buku yang ditulis oleh seorang tokoh nasional Muhammad Natsir. Perdana Mentri Indonesia, sekaligus tokoh berpengaruh yang diukir dalam sejarah Indonesia sebagai pahlawan yang membawa kembali NKRI yang pada saat itu tengah terpecah menjadi RIS dan Indonesia terjebak dalam permainan Belanda. Mosi Integral yang digagas oleh M. Natsir menginisiasi para pemimpin yang terpecah oleh RIS ketika itu untuk mengembalikan kondisi NKRI ke Negara Kesatuan. Salah satu hal yang unik dari tokoh pergerakan di indonesia  dulu ialah mereka bukan hanya diakui oleh negara dan masyarakat, tetapi juga diakui di luar negri bahkan oleh musuh sendiri. Ini yang mungkin perlu jadi bahan merenung bagi para aktivis pergerakan hari ini.
            Seperti pujian Raja Faisal pada Muhammad Natsir ketika kunjungan RI waktu itu, walaupun M. Natsir sendiri berhalangan hadir ketika itu tidak mengurangi sedikitpun ta’dzim Kerajaan Arab Saudi padanya, Raja Faisal menyampaikan pada utusanya, “Muhammad Natsir adalah pemimpin umat islam, bukan hanya di indonesia tapi juga bagi kami dan seluruh dunia”.
Ataupun juga pengakuan I.J, Kasimo yang merupakan aktivis Nasrani beliau menyampaikan bahwa baginya M. Natsir adalah pemimpinnya. Pandangan yang serupa juga dapat kita temukan pada Hamka dan tokoh pergerakan islam lainnya. Tanpa ingin memunculkan kesan berlebihan, setidaknya memberi gambaran bahwa sebenarnya ada banyak warisan tokoh negeri kita ini yang sebenarnya substansial untuk kita gali dan pelajari tapi kita lewati tanpa kita sadari.

            Salah satu tulisan yang beliau tulis sendiri berjudul “Mempersatukan Ummat” sebuah diagnosa M. Natsir terhadap salah satu penyakit akut yang diidap oleh Ummat Islam, tidak hanya dulu tapi hingga hari ini masalah persatuan Ummat masih menjadi tema yang masih tidak kehilangan cita rasanya untuk dibahas. Walaupun buku ini tipis hanya sekitar 36 halaman dengan 9 poin bahasan, beliau memaparkan tiap poinnya dengan singkat, padat, tetapi sangat substansial dan tepat sasaran mengenai intinya


Al Ittihad (Persatuan) dalam pandangan M. Natsir
           
            Masalah persatuan merupakan salah satu perkara yang Allah tekankan khusus dalam Alquran dengan diksi yang cukup keras agar kemudian selalu menjadi perhatian kaum muslimin dari zaman ke zaman. Meletakkannya dalam Alquran membuat perkara persatuan secara tidak langsung menjadi sebuah implikasi yang tidak boleh dan tidak dapat dihindari apabila seseorang menyatakan keimanannya. Seperti yang kita pahami bahwa mengimani Alquran menjadi syarat yang tak dapat dikompromikan lagi ia menjadi salah satu rukun iman, syarat kesempurnaan sebuah iman. Mengimani keenamnyalah juga yang Rasulullah sebut sebagai “Iman” pada hadist Jibril.
Mengimani setiapnya memiliki implikasi dan konsekuensi, dan mengimani Alquran konsekuensinya adalah mengamalkan isinya yang termasuk disana persatuan. Inilah saya rasa mengapa M. Natsir menuliskan dengan singkat bahwa kunci utama terwujudnya Al-Ittihad adalah kekuatan atau kuatnya kondisi iman pengusaha persatuan[1]. Ditambah penekanan beliau terhadap kandungan Surah Al-Hujurat ayat ke 10;

                                                                                                            إنماالمؤمنون إخوة   Innama ‘l Mu’minun Ikhwatun.” (QS: 49:10)


Diksi “Innama” di ayat ini menunjukkan bagaimana begitu terikatnya keberimanan dengan persatuan dalam persaudaraan. Karena itu juga, permasalahan krusial dari persatuan berada pada dimana Iman itu berlabuh, Hati.

            Sebagaimana definisi iman secara istilah, Membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, kemudian diwujudkan dalam laku dan aksi. Maka membenarkan dalam hati di sini bukan sekedar pengakuan bahwa ini atau itu benar, tapi pembenaran dengan keyakinan penuh yang membuat tahap keimanannya menuju tahap berikutnya, mendorong lisannya untuk menegaskan apa yang ia benarkan dalam hati. Maka disini M. Natsir memberikan tiga unsur penting; qalbu, sebagaimana yang sudah di jelaskan di atas. Kemudian, wijhah yang menjadi orientasi dari yang diyakini dalam hati. Dan kebersihan dari amal yang menjadi implementasi dari apa yang diyakini dalam hati dan menjadi orientasi dari amal. Maka secara sederhana lurusnya ketiga unsur inilah persatuan berpijak. Karena bersatu, berukhuwah tidak cukup hanya dengan memahaminya luar dalam[2] , karena bersatu, berukhuwah adalah salah satu karunia yang Allah berikan pada hambanya, ia layaknya kemenangan dan keberhasilan, ia tidak dicapai tapi diberikan dan kita sebagai hamba berikhtiar agar layak untuk itu. Maka Allah tekankan perkara ini dalam firmanNya;


لو أنفقت ما في الأرض جميعا مألفت بين قلوبهم ولكن الله ألف بينهم إنه عزيز حكيم

Sekalipun engkau belanjakan apa yang ada di bumi seluruhnya, tidaklah engaku dapat mempersatukan hati mereka; tetapi Allah-lah yang mempersatukan mereka. Sesungguhnya Ia itu Maha Gagah dan Bijaksana.”(QS:8:63).
         
Memilih Tafarruq (Perpecahan)

            Sudah disebutkan di awal perihal keniscayaan potensi adanya konflik selama kontak sosial terjadi, yang menjadi pilihan kemudian hanya dua, Ittihad (persatuan) atau Tafarruq (perpecahan). Persatuan sebagai mana disinggung di atas memiliki ketentuan-ketentuan dan pengorbanan yang harus diberikan untuk membuat ummat pantas dianugrahi persatuan. Tidak memenuhinya berarti harus siap bertahan dalam keadaan berpecah.
            Problem ini tentu sangat dirasakan semua kalangan ummat Islam, dari sektor terendah di organisasi-organisasi pelajar, masyarakat, sampai ‘Alami sekalipun. Jika disebutkan kunci dasar persatuan adalah kekuatan iman, maka sama juga lemahnya keimanan dan mendominasinya hawa nafsu merupakan asas mula Tafarruq menjadi pilihan yang menggoda untuk dilakukan. Karena seringkali Tafarruq timbul apabila perbedaan pendapat ditunggangi oleh hawa nafsu pada pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama tidak tahu ke mana tempat pulang, yaitu memulangkan persoalan, bila tidak diperoleh persetujuan.[3] Tidak mudah memang bertahan dari bisikan setan dan hawa nafsu yang terus mencari celah untuk masuk ke dalam hati.
            Tentunya saat menghimpun orang-orang dalam satu panji dan berjuang untuknya sudah menjadi konsekuensi untuk siap menerima segala konsekuensi, kondisi, dan keputusan yang ada. Disinilah yang dirasa penulis berat untuk mempertahankan idealisme untuk tidak terbawa rayu bujuk setan dan hawa nafsu. Pasalnya, keduanya masuk menghujam bersamaan dengan emosi-emosi negatif  seperti kecewa, putus asa, mendahulukan idealisme pribadi, sombong, meremehkan, dan banyak lainnya. Sehingga benteng terakhir adalah iman, apabila sedang jatuh imannya maka saat itu jatuhlah dia pada kondisi yang mungkin akan disesalinya, berpecah.

Penutup
           
            Mungkin yang demikian masih sebagian dari yang bisa saya uraikan dan jelaskan kembali. Karena memang niat awal tulisan ini dibuat agar teman-teman bisa membacanya juga atau setidaknya tertarik untuk membuka kembali sejarah para tokoh, untuk yang sedikit ini saya mohon kepada Allah SWT. Untuk menjadikannya wasilah kebermanfaatan untuk saudara kami seiman.

Daftar Pustaka
            Natsir, Muhammad, Mempersatukan Ummat, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2018.


[1] Liht. M. Natsir, “Mempersatukan Ummat”, (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2018) hlm. 4
[2] Ibid. hlm. 5
[3] Ibid. Hlm. 11

Komentar