THE MUQADDIMAH ORIGIN: Buah Dialektika Ibnu Khaldun

THE MUQADDIMAH ORIGIN: Buah Dialektika Ibnu Khaldun

Oleh: Ahmad Mushoddaq Abror
بسم الله الرحمن الرحيم


Pengantar
            Kehadiran sosok seperti Ibnu Khaldun (malah) sangat tersohor diakalangan akademisi barat mengundang begitu banyak komentar, kritik, pembelaan, dan diskusi-diskusi lebih lanjut lainnya berkenaan karyanya al Muqaddimah. Tentunya, fenomena ini tidaklah buruk dan sangat lumrah dikalangan ilmuwan dan akademis, karya Ibnu Khaldun telah menciptakan sebuah lahan yang sangat lapang sebagai tempat ide-ide saling beririsan dan mutiara-mutiara baru terus disemai, sekurangnya 500 tahun sudah sejak al Muqaddimah ditulis.[1] Rangkaian fakta dan keterbatasan informasi yang dimiliki orang-orang muslim mengenai kebesaran sejarahnya mau tidak mau memunculkan lubang miss identity yang memperihatinkan, kehilangan banyak contoh, kehilangan kebanggaan, kehilangan jati diri sejati yang diwariskan generasi terbaik umat ini.
            Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas (atau sedikit mengedukasi tepatnya) kontrovesi dan teori-teori dari pemikiran Ibnu Khaldun yang dituangkannya dalam al muqaddimah.[2] Seperti yang telah dikatakan di tulisan sebelumnya, pada tulisan kali ini akan dipaparkan secara ringkas mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Setelah membaca pemikiran seseorang, akan menjadi sangat penting bagi kita untuk mengerti dengan seksama bagaimana kehidupan si pemilik pemikiran tersebut.
            Kenapa?
            Sebagaimana yang dikutip pada artikel sebelumnya, bahwa manusia, atau kita yang sekarang ini bukanlah produk dari nenek moyang ataupun orang tua kita (saja), melainkan hasil dari irisan keberadaan kita dengan lingkungan sosial yang kita ada di dalamnya.[3] Dan ini berdampak pada kita baik fisik maupun mental, termasuk muatan berpikiran seseorang. Hal ini sudah sewajarnya dipengaruhi oleh latar belakang tiap orang, pendidikannya, kejadian-kejadian masa lalunya, gaya hidupnya, pengalamannya, dan banyak faktor lainnya. Maka dari itu menjadi sangat penting untuk mengenal Ibnu Khaldun tidak hanya pemikirannya, melainkan juga biografinya sehingga kita tau kerangka-kerangka seperti apa yang membuat Ibnu Khaldun dapat mengkonstruksi pemikiran-pemikirannnya untuk menciptakan karya-karya hebat seperti al muqaddimah, al Ibar, dll.
            Pada tulisan yang kedua ini juga penulis mengambil sebagian kontennya dari penelitian Dr. Ahmad Syafii Maarif yang terkhusus beliau uraikan pada bab satu penelitiannya. Disini penulis juga memohon maaf apabila pada uraian nanti akan lebih menonjolkan sisi Ibnu Khaldun sebagai seorang akademis dari pada sisi religinya lantaran masih minimnya literatur yang bisa diakses penulis. Semoga tulisan yang sederhana ini diberi taufiq oleh Allah SWT. Sehingga dapat bermanfaat bagi khalayak banyak.
-o0o-

            Lahir di Tunisia 27 Mei 1332 di keluarga yang dapat dibilang terhormat kala itu, Wali ad-Din Abu Zaid ‘AbdurRahman bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili yang ramah disebut Ibn Khaldun ini lahir dengan memiliki bakat kecerdasan yang luar biasa. Ditambah lagi keluarga Ibnu Khaldun yang terbilang dihormati oleh kerajaan (kekhalifahan) dan menduduki posisi-posisi penting dalam kancah perpolitikan dimanapun dari abad ke abad. Sejatinya nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut, sampai pada abad ke-8 ketika Spanyol sudah futuh di tangan kaum Muslimin, keluarga mereka pindah ke Seville (Spanyol) sampai beberapa tahun sebelum 1248 ketika Seville akhirnya jatuh ke pangkuan Nashrani, keluarga nenek moyang keluarga Ibnu Khaldun pindah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Disana mereka disambut hangat oleh pihak istana yang menguasai daerah tersebut.
            Perlu digaris bawahi juga bahwa pada saat itu (periode Ibnu Khaldun hidup) kondisi geo politik yang ada di daerah-daerah afrika dan di tempat-tempat lain sedang tidak dalam kondisi terintegrasi dengan kekhalifahan, melainkan terpisah-pisah menjadi dinasti-dinasti tersendiri di samping kekhalifahan yang masih ada waktu itu. Sejak kecil sebelum dia memasuki dunia keilmuan Ibnu Khaldun sudah hidup di keluarga yang berada dan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan intelektual di Seville dan aktif memantau perpolitikan di kota kelahirannya itu. Ayah Ibnu Khaldun adalah seorang administrator dan perwira militer, tapi kemudian memilih pensiun untuk menekuni dunia ilmu; hukum, teologi, dan sastra. Neneknya sendiri adalah mantan Menteri Keuangan Tunisia. Terlihat dari riwayat silsilah keluarganya, Ibnu Khaldun punya bakat politikus sejak lahir, ditambah dengan kecerdasan yang dilebihkan Allah, Ibnu Khaldun di umurnya yang 17 tahun telah menguasai beberapa disiplin ilmu islam klasik; filsafat, tasawuf, metafisika, pada bidang hukum fiqh, Ibnu Khaldun menguasai madzab Maliki. Tidak cukup itu, Ibnu Khaldun juga mendalami ilmu politik, geografi, sejarah, ekonomi, dll. Ketamakan Ibnu Khaldun terhadap ilmu tidak dapat terbendung, walapun begitu pengetahuannya yang demikian luas membuatnya tidak dikenal sebagai pakar apapun (belum ada sejarah yang mencatat bidang kepakaran Ibnu Khaldun).
            Tidak heran, sebelum genap 20 tahun umurnya, Ibnu Khaldun telah aktif terlibat dalam berbagai seluk-beluk perpolitikan di Seville. Persaingan keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan sudah menjadi lumrah bagi Ibnu Khaldun muda. Mengingat segala kapasitasnya yang dicapai sangat belia, Ibnu Khaldun muda tidak merasa risih ataupun terganggu dengan lingkungan perpolitikan yang demikian. Ibnu Khaldun muda malah seperti menikmati kondisi seperti itu, sebagai mana yang dikutip Syafii dari pendapat Al Faruqi  “Ibn Khaldun sepenuhnya sesuai dengan lingkungan semacam itu, seakanakan ia dilahirkan bukan hanya di dalamnya, tapi untuk keadaan semacam itu”[4].
            Berbagai intrik dalam perpolitikan telah dirasakan Ibnu Khaldun, demi agar karir politiknya terus maju berkali-kali harus berpindah-pindah tuan. Pada umur 20 tahun Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan Abu Inan di Fez, Maroko 1354 sampai 1361, sempat dicurigai sebagai mata-mata dan dijebloskan ke penjara selama 21 bulan hingga Sultan Abu Inan wafat dan digantikan anaknya Abu Salim yang kemudian merehabilitasi posisi Ibnu Khaldun di pemerintahan. Semakin panasnya suasana perpolitikan di Fez akhirnya memunculkan berbagai macam pemberontakan dari sipil baik militer sampai akhirnya berujung kematian Sultan Abu Salim. Kondisi Fez yang semakin tidak jelas memaksa Ibnu Khaldun untuk menyelamatkan karir politiknya dengan pergi ke Granada, Negara muslim terakhir yang berdiri di semenanjung Iberia.
            Sebagai sekretaris Sultan Abu Salim, Ibnu Khaldun disambut hangat oleh raja Muhammad V di istana dan berteman baik dengan Ibn al-Khatib wazir (perdana mentri) raja Muhammad. Kepercayaan raja terhadap Ibnu Khaldun begitu tinggi, terbukti dengan diutusnya Ibnu Khaldun sebagai duta istana kepada raja Pedro El Cruel, raja Kristen Castilla di Seville. Sebagai seorang diplomat Ibnu Khaldun diberi tugas untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan kerajaan Castilla. Ra ja Pedro sendiri terkesan dengan kinerja diplomatik Ibnu Khaldun sampai ditawari akan mengembalikan seluruh harta keluarganya di Seville apabila mau ikut dengannya, walau bagaimanapun Seville adalah kampung halaman nenek moyangnya dahulu yang sudah tinggal berabad-abad disana, tapi ia menolaknya.
            Keberhasilan Ibnu Khaldun menambah popularitasnya di Istana, sampai tidak lama kemudian datang kabar kematian sahabatnya Ibn al-Khatib di Fez. Ibnu Khaldun yang berencana menetap lebih lamapun mengurungkan niatnya. Ia beralih memenuhi undangan Abu Abdullah, penguasa Bougie (pantai Aljazair) untuk diangkat menjadi perdana mentri. Tahun 1365 Ibnu Khaldun sudah berada di Bougie, tahun berikutnya dia berpindah ke konstantin melayani raja Abul Abbas yang telah menjatuhkan saudara sepupunya, raja Abu Abdullah. Tidak selang beberapa lama di konstantin, Ibnu Khaldun mulai merasa kepercayaan terhadapnya semakin menurun, akhirnya pindahlah Ibnu Khaldun ke Biskra, di selatan Konstantin, Aljazair.
            Kemudian datang lagi panggilan, kali ini ia dipanggil oleh amir Abu Hammu dari Tlemcen dan ditawari (lagi) menjadi perdana mentri di Tlemcen. Kali ini Ibnu Khaldun menolak, kali ini Ibnu Khaldun benar-benar berada di titik muncaknya. Intrik politik yang tiada henti telah membuat politikus ulung ini jenuh dan lelah karena kondisi politik yang tiada stabil. Puncaknya pada saat ia menjadi utusan amir kepada suku Dawawidah untuk mengajak mereka bergabung dengan Abu Hammu untuk melawan Abul Abbas, Ibnu Khaldun pergi dari tugasnya dan mendapat perlindungan dari istana Qal’at ibn Salamah. Disinilah Ibnu Khaldun menghabiskan 4 tahun lamanya memadatkan seluruh pemahaman dan pengalamannya selama berkecimpung di dunia politik, pengelaman menjadi diplomat, utusan raja-raja di afrika menjadi sebuah karya yang bagi Ibnu Khaldun sendiri adalah suatu yang sangat monumental. Ia berada di sana sampai musim gugur 1378,  pada awal musim dingin di tahun yang sama Ibnu Khaldun meninggalkan Qal’at ibn Salamah menuju Tunisia kemudian bertolak untuk haji pada tahun 1382.
            Selama perjalanannya, Ibnu Khaldun memutuskan untuk singgah di Kairo sebelum ke Makkah. Di kairo Ibnu Khaldun diangkat sebagai guru, para mahasiswanya terpukau melihat bagaimana Ibnu mengisi kuliah-kuliahnya menjelaskan artikulasi-artikulasi gejala-gejala sosial. Bersamaan dengan itu Ibnu Khaldun juga diangkat menjadi seorang qadi bagi madzab Maliki yang dia juga melakukan tugasnya sebagai qadi dengan sangat baik. Tahun 1384 Ibnu Khaldun mengundurkan diri karena tersiar kabar orang tuanya yang ingin menyertainya di Kairo telah terjebak kecelakaan kapal dekat Iskandaria. Setelah kejadian itu sultan Barquq mengangkatnya menjadi profesor yurisprudensi pada kolej Zahiriyah Mesir. Barulah 1387 Ibnu Khaldun berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1389 Sultan Faraj anak Barquq kembali mengangkat Ibnu Khaldun menjadi qadi madzab Maliki setelah kematian sultan Barquq.
            Setelah pengangkatannya kembali menjadi qadi, ada sebuah kisah lagi yang juga tanpa Ibnu Khaldun sadari akan menjadi peristiwa paling bersejarah baginya,  juga bagi ilmuwan hari ini. Peristiwa itu adalah pertemuan antara Ibnu Khaldun si ilmuwan dan seorang panglima mongol muslim yang di barat dikenal dengan nama Tamerlane (Timur), seorang panglima mongol yang dikisahkan dalam sejarah militer sebagai pewaris Jengis Khan. Walaupun seorang muslim, Timur tidak segan-segan untuk merobohkan kerajaan-kerajaan muslim. Pertemuan mereka ini disebut oleh Muhsin Mahdi sebagai salah satu rekaman sejarah dunia yang sangat mengagumkan.[5] Secara ringkas Ibnu Khaldun memenuhi permintaan Sultan Faraj muda untuk ikut ke dalam ekspedisi militer untuk menaklukan Timur yang hendak menguasaai kerajaan Sultan Faraj. Setibanya di Damaskus tersiar kabar terjadi kudeta di istana, sehingga sebagian besar pasukan harus kembali sebelum bertemu dengan pasukan Tamerlane. Melalui informannya Tamerlane mengetahui keberadaan Ibnu Khaldun di Damaskus, salah satu orang yang menyetujui penyerahan Damaskus tanpa perlawanan kepadanya. Berbekal kelihaian Ibnu Khaldun berdiplomatik ia berhasil diperbolehkan masuk ke tenda Tamerlane, Ibnu Khaldun berada di sana selama kurang lebih 35 hari. Tidak dicantumkan detil oleh Ahmad Syafii Maarif tentang apa saja yang mereka bincangkan selama 35 hari. Hal dapat dipastikan adalah pertemuan mereka bagi Ibnu Khaldun merupakan pengalaman yang amat epic sebagai seorang ilmuwan begitu juga menurut Tamerlane. Ibnu Khaldun bahkan mengkhususkan pertemuannya dengan tamerlane dalam otobiografinya at-Ta’rif bi Ibn Khaldun dengan judul bab Ibn Khaldun dan Tamerlane.[6] Kejadian ini terjadi tahun 1401.
            Sepulangnya dari kejadian itu Ibnu Khaldun masih tidak percaya ia bisa kembali dengan aman dari berbincang dengan Tamerlane, walaupun terkenal kejam dan tak segan ternyata Tamerlane adalah sosok yang juga sangat menghargai ilmu dan ilmuwan, terbukti 35 hari Ibnu Khaldun berada di dalam perkemahannya ia diperlakukan dengan sangat baik dan hormat meski Ibnu Khaldun sendiri dalam hati sebenarnya takut kepada Tamerlane. Sesampainya di Kairo Ibnu Khaldun melanjutkan profesinya sebagai qadi madzab Maliki sampai enam kali pengangkatan, terkahir dilantik bulan Februari 1406 dan dijalani hanya hanya beberapa hari karena pada 17 Maret 1406 (25 Ramadhan 808) Ibnu Khaldun menghembuskan nafas terakhirnya sebagai qadi. Adapun Tamerlane, telah meninggal tahun sebelumnya pada 18 Februari 1405, dengan begitu sekali lagi zaman telah ditinggal salah satu putra terbaiknya.
            Demikian secara ringkas perjalanan hidup seorang Ibnu Khaldun penulis yang melahirkan al Muqaddimah. Semoga tulisan yang sederhana dan banyak kekurangan ini dapat Allah jadikan wasilah kepahaman terhadap judul yang kita cari kepahaman tentangnya.

Daftar Pustaka
            Syafii, Ahmad Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Timur dan Barat, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
            Mushoddaq, Ahmad Abror. “Ibnu Khaldun dan Al Muqaddimah yang kontroversial.” Astral World Universities 28 Okt 2018, Web, (http://astralworlduniverse.blogspot.com/s018/10/ibnu-khaldun-danal-muqaddimah-yang_28.html , diakses 5 November 2018).



[1] Syafii, Ahmad Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Timur dan Barat, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 2
[2] Liht. Mushoddaq, Ahmad Abror. “Ibnu Khaldun dan Al Muqaddimah yang kontroversial.” Astral World Universities 28 Okt 2018: para. 10. Web.
[3] Syafii, Ahmad Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Timur dan Barat, hlm. 23
[4] Ibid., hlm. 13.
[5] Ibid.,hlm. 19.
[6] Ibid.,hlm. 20

Komentar