Ibnu Khaldun dan Al Muqaddimah yang Kontroversial

Ibnu Khaldun dan Al Muqaddimah yang Kontroversial

oleh: Ahmad Mushoddaq Abror


            Segala puji bagi Allah SWT. Atas curah limpahan RahmatNya yang telah membantu dalam pengerjaan artikel ini. Tulisan yang ada di hadapan anda ini merupakan ulasan singkat perihal kontroversi-kontroversi yang muncul diantara para ilmuan dan akademisi perihal karya al Muqaddimah Ibnu Khaldun sekaligus pengenalan singkat mengenai pribadinya yang penulis tuliskan kembali dari hasil penelitian Dr. Ahmad Syafii Maarif yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul “IBN KHALDUN DALAM PANDANGAN PENULIS BARAT DAN TIMUR”.
            Artikel ini juga merupakan ikhtiar penulis agar dapat mengenalkan kepada khalayak luas terutama para akademisi muslim yang berkecimpung di dunia sosial dan kultur, perihal sosok yang sangat akrab di telinga-telinga para sarjana ilmu sosial di dunia. Seorang yang pantas disebut sebagai perintis penelitian sejarah empiris, peletak batu pertama ilmu sosial dan ilmu kultur, dan bapak sosiologi modern pertama 400 tahun lamanya sebelum orang-orang seperti Nicollo Machiavelli, Auguste Comte, maupun Pitrim A. Sorokin. Mari kita simak bersama.


            Berbagai tudingan dan kritikan terus dilontarkan dari para sarjana dan ilmuan yang mengkaji al Muqaddimah Ibnu Khaldun hatta 60 tahun kebelakang dari 1996 buku ini pertama kali dicetak[1]. Walaupun dari namanya saja kita tahu al Muqaddimah yang berarti “kata pembuka” atau “pengantar” hanyalah pemanasan untuk karya intinya, yakni kitab Al ‘Ibar yang lebih panjang dan lebih detil dari al Muqaddimah yang sebenarnya hanya hidangan pembuka. Tapi kitab Al ‘Ibar ini ternyata kalah kontroversial dengan pendahulunya Al Muqaddimah karena seluruh bangunan teori tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah yang dikemukakannya ada di dalam al muqaddimah. Sedangkan dalam Al ‘Ibar dijabarkan bukti-bukti empiris historis dari teori-teori yang dikemukakannya di dalam al Muqaddimah.[2]
Pujian maupun sangkaan kepada Ibnu Khaldun datang dari berbagai pihak, ada yang positif dan negatif. Seperti sejarawan inggris misalnya A.J. Toynbee memuji al Muqaddimah sebagai  “...the greatest work of its kind that has ever been created by any mind in any time or place”.[3] Hingga tudingan sebagai ilmuan yang pesimis bahkan fatalis lantaran tesisnya yang menggambarkan suatu mekanisme siklus pasti dari jatuh bangunnya sebuah kekuasaan dalam masyarakat sosial.
Pada dasarnya kumplan tesis dalam al muqaddimah merupakan akumulasi dari penelitian Ibn Khaldun selama malang melintang di Afrika Utara dan Spanyol.[4] Ada tiga hal penting yang dinilai Ibnu Khaldun sebagai “Dosa Sejarah” yakni, dosa keangkuhan, dosa kemewahan, dan dosa kerakusan. Dimana apabila manusia mendahulukan nafsu hewaniyahnya dalam memerintah masyarakat atau mengadakan suatu kekuasaan, meraka akan cenderung jatuh ke dalam tiga dosa ini dan tidak lama kemudian mereka akan jatuh dalam kebinasaan, Ibnu Khaldun bahkan mencantumkan umur kekuasaan yang telah jatuh ke dalam tiga dosa ini tidak akan lebih dari 120 tahun atau selama 3-4 generasi.[5] Ibnu Khaldun berpendapat pangkal dari semua awal mula dosa ini adalah mulai jauhnya manusia dari Syariat.[6]

Ada ayat yang Ibnu Khaldun kutip dalam menjelaskan masalah ini:
Dan bilamana Kami berkehendak menghancurkan sebuah kota, Kami suruh-orang yang bergelimang dalam kemewahan yang serba melampaui batas itu (untuk mengikuti perintah Kami), tapi mereka durhaka, maka pantaslah menerima azab, lalu Kami hancurkan sehancur-hancurnya.[7]
Sebelum mengutip ayat diatas Ibnu Khaldun memberikan komentar:
            وإذا كثر ذالك في المدينة و الأمة تأذَّن الله بزرابها وانقراضها
Manakala kerusakan sudah meluas di kota dan lingkungan umat, maka Tuhan membunyikan lonceng kehancuran dan kematiannya.[8]

Pandangan serba pasti dalam mengmati perjalanan sejarah yang seperti inilah yang membuat Ibnu Khaldun banyak dikritik oleh sebagian peneliti kontemporer sebagai pesimis bahkan fatalis sebagai mana yang disebutkan diatas. Diantara yang mengkritik keras Ibnu Khaldun sebagai pesimis adalah Nakamura Kojiro, seorang antroplog jepang dalam bukunya Ibn Khaldun’s Image of City yang dikutip Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam penelitiannya.[9]
            Walapun merupakan hal yang sangat wajar sekali bila mana sebuah tesis, penelitian itu diangkat akan muncul perdebatan-perdebatan pro kontra diantra peneliti, justru hal inilah yang menggelitik akademisi lainnya untuk ikut mempelajari dan menggali pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun hingga hari ini. Walaupun hanya berpusat di daerah Afrika Utara dan Spanyol, perdebatan dan penelitian yang lebih lanjut ini mengisyaratkan pada kita bahwa hasil-hasil tesis yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun bisa dikatakan komprehensif dan Universal terbukti dengan adanya fakta diatas buah-buah pemikiran Ibnu Khaldun belum juga basi sampai sekarang. Dr. Ahmad Syafii Maarif berkomentar bahwa pandangan Ibnu Khaldun mengenani siklus kekuasaan serba pasti yang dikatakan oleh sebagian ilmuan sebagai bentuk pesimis bukanlah didasari dari sudut pandang sosiologis melainkan dari sisi moral dan agama.
           
Secara ringkas Tarif Khalidi membagi kitab al Muqaddimah menjadi 3 bagian besar, yaitu:
1.      Pembahasan mengenai historiografi, prinsip-prinsip dasarnya dengan ilustrasi kesalahan-kesalahan yang dilakukan kebanyakan sejarawan Arab-muslim yang akan kita singgung setelah ini.
2.      Pembicaraan tentang ilmu kultur (dikenal dengan sebutan ‘ilmu al-‘umran al-bashari) yang akan kita bahas di artikel selanjutnya, isinya merupakan pandangan Ibnu Khaldun akan pentingnya prinsip-prinsip ilmu dalam pemahaman sejarah, ilmu ini meliputi formasi sosial dasar (nomad dan menetap) dan tentang munculnya negara serta peradaban bersamaan dengan munculnya hukum yang mengatur interaksi mereka.
3.      Rekaman lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14.[10]

             Berbeda dengan karya-karya modern pada umumnya sekarang al muqaddimah yang sebenarnya lebih tua ratusan tahun masih dipandang lebih komprehensif karena pembahasanya yang dikombinsasi dengan multidisiplin ilmu baik geografi, ekonomi, serta apa-apa yang dapat menjadi variabel perubahan masyarakat sosial.[11] Ibnu khaldun sendiri percaya bahwa karakter sosial tidaklah merupakan peninggalan dari nenek moyang melainkan sebuah hasil dari dialektika masyarakat sosial dengan lingkungannya.[12] Kajiannya terhadap realitas yang kritis dengan memadukan multidisiplin inilah yang saya rasa Ibnu Khaldun layak juga disebut sebagai salah seorang filsuf Islam, tidak seperti filsafat islam yang mungkin umumnya kita ketahui sebagai buah penetrasi ataupun hasil implikasi dari gesekan pemikiran islam dengan budaya masyarakat Romawi maupun Persia yang sebenarnya ingin juga saya coba bahas di artikel yang akan datang. Tulisan Ibnu Khaldun dibuat pada abad ke-14 seperti yang disebutkan di atas boleh jadi bukan hanya sekadar karya pertama di dunia islam yang menyajikan pengkajian secara empiris-historis dengan pendekatan moral scientific approach to history melainkan pertama di dunia.[13] Secara tidak langsung juga bisa dibilang Ibnu Khaldun jugalah yang pertama kali mempelopori pola penelitian empiris yang sistematis dengan hadirnya kitab al muqaddimah dan al Ibar di abad ke-14 ini. Ditambah lagi, seperti yang telah disinggung tadi, kehebatan dari al muqaddimah ini bersih dari sumber-sumber Romawi maupun Yunani. Hal ini dipertegas oleh sejarawan India, Buddha Prakash dalam bukunya “Ibn Khaldun’s Philosophy of History”, ia menulis  “... tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia (Ibn Khaldun) sudah berkenalan dengan karya para sejarawan Yunani dan Romawi.”[14] Kemudian Ahmad Syafii Maarif melanjutkan:

Sekalipun karya-karya klasik itu telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa arab, Ibn Khaldun ternyata tidak mengutip apa-apa dari Republik karya Plato yang justru telah menjadi pangkal tolak bagi bangunan teori dalam al-madinah al-Fadhilah al-Farabi sebelumnya. Oleh sebab itu di mata Prakash, Ibn Khaldun tidak saja sebagai bapak sosiologi, tapi juga sebagai pemula dari filsafat sejarah. Dialah pelopor penafsiran sosiologis terhadap sejarah. Bahkan lebih jauh Prakash menegaskan bahwa Ibn Khaldunlah yang memulai kajian sejarah Ilmiah,[15]

Tentunya juga memang ada tokoh-tokoh lain seperti al-Farabi yang mengadopsi filsafat Yunani dalam pemikiran-pemikirannya, wal hasil pemikiran al-Farabi sempat menjadi Polemik bagi Ibnu Taimiyah karena dinilai oleh beliau melenceng jauh dari nilai-nilai Islam, karena pemikiran al-Farabi dalam hal politik dan kekuasaan dijadikan dasar oleh penguasa pada masa itu tentunya.[16]
            Diantara pandangan Ibnu Khaldun tentang sejarawan dahulu (bahkan bisa dibilang berlaku hingga saat ini) adalah, menurutnya ada setidaknya tujuh penyakit yang melemahkan seorang sejarawan, tujuh hal tersebut adalah:

(1) sikap memihak kepada pendapat-pendapat dan madzab-madzab tertentu.
(2) terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.
(3) gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menyampaikan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan itu.
(4) perkiraan yang tak punya dasar (terhadap sumber berita).
(5) kebodohan dalam mencocokkan kenyataan dengan kejadian sebenarnya.
(6) kegemaran banyak orang untuk mendekatkan diri kepada para pembesar dan orang-orang yang berpengaruh dengan jalan memuji dan menyanjungnya serta menyiarkan hal-hal yang baik-baik saja tentang mereka.
(7) ketidaktahuan tentang hakikat situasi dalam kultur.

Ketujuh hal diatas yang dipaparkan Ibnu Khaldun dirasa sangat menghujam para sejarawan yang dimana terlihat enam poin pertama menunjukkan kadar ketidak mampuan seorang sejarawan untuk bersikap objektif dalam membuahkan suatu karya yang dari situ juga tergambar bahwa menjadi sejarawan juga bukan merupakan hal yang mudah[17], walaupun di Indonesia fakultas sejarah tidak jarang dijadikan sebagai kambing hitam untuk kuliah. Tidak ada data yang bisa disajikan, tetapi mungkin setidaknya ini bisa menjadi jawaban bagi kita mengapa, meskipun kita tiap tahun meluluskan akademisi di bidang sejarah, tetapi sampai saat ini kapasitas kolektif bangsa indonesia tidak juga mengalami kemajuan yang signifikan. Mungkin.
            Sebagai poin terakhir kita akan kembali pada pemikiran Ibnu Khaldun tentang jatuh bangun kekuasaan, titik batas kiamat sebuah bangsa diamana Ibnu Khaldun meletakkannya pada suatu siklus yang ia simpulkan dari pengalaman empirisnya, berikut ini akan kita gunakan rangkuman dari Fuad Baali yang dikutip Ahmad Syafii Maarif dalam proposal penelitiannya. Sebagai awalan, siklus ini mengisyaratkan bahwa setiap kekuasaan yang mencapai puncak keluarbatasannya akan memicu sebuah peristiwa revolusi atau apapun yang mengisyaratkan sebuah peruntuhan total perangkat-perangkat sisa kekuasaan peradaban lama yang kemudian diganti dengan pondasi-pondasi sebuah peradaban baru, kekuasaan baru. Saya kira begitu jugalah yang terjadi ketika renaissaance mengingat bagaimana kronologi sebab akibat dari kejadian ini. Perlu dijadikan catatan juga istilah “negara” yang digunakan oleh penulis dalam siklus ini bukan merepresentasikan negara yang umumnya ada sekarang, melainkan merepresentasikan kerajaan yang ada di abad-14.

            Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Pertama, dikenal dengan fase heroik dimana penguasa dapat mengalahkan musuh, memberikan rasa aman kepada masyarakat, dan menjadi figur yang diteladani. Pada fase ini pemimpin masih berada dekat dengan pengikut setianya.
Kedua, adalah dimana penguasa mulai bersifat otokratik dan menarik diri dari pengikutnya. Pada fase ini penguasa dikelilingi oleh sejumlah pengikut asing yang tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali.
Ketiga, merupakan fase pemakmuran, dimana penguasa sangat semangat untuk mengisi perbendaharaan negara dan kemudian mendistribusikannya pada pengikutnya secara proporsional merata. Dikatakan bahwa fase ini adalah fase akhir dari sebuah kekuasaan.
Keempat, disebut penulis sebagai fase bahagia dan damai, dimana penguasa sudah merasa puas dengan apa-apa yang sudah dicapai oleh pendahulunya. Dikatakan bahwa fase ini merupakan fase puncak dari siklus ini.
Kelima, kalau boleh saya menyebutnya sebagai fase kiamat dimana kemewahan dan pemborosan menjadi senjata utama penguasa dalam mempretel peninggalan ataupun capaian-capaian generasi terdahulu demi mengikuti hawa nafsunya. Meng”nol”kan kembali peradaban.[18]

            Dari semua yang telah dipaparkan diatas tentu sangat dirasa apa yang disajikan pada pembaca ini sangat lemah penjelasan dan banyak kejanggalan yang mungkin anda dapatkan, terutama mengenai latar belakang Ibnu Khaldun dalam menyusun penelitian, kapasitasnya, dan juga penjabaran mengenai ‘ilmi al-‘umran yang semoga juga bisa saya susun diartikel yang akan datang insyaallah, tulisan yang sedikit ini semoga dapat sedikit mengenalkan pada kita, muslim khususnya profil ilmuan kita yang steril bahkan imun dari unsur-unsur Romawi maupun Yunani, berdidikasi dan berobyektif tinggi.

Daftar Pustaka
            Syafii, Ahmad Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Timur dan Barat, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
            Ibn Taimiyah, Siyasah Islamiyah, tr. Oleh Rofi’ Munawwar, ed. and abrd. oleh Koes Adiwidjajanto, Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 2005.




[1] Ahmad Syafii Maarif, Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996 hlm. ix
[2] Ibid., hlm. 25.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Ibid., hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 32.
[6] Ibid., hlm. 38.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 9.
[10] Ibid., hlm. 24.
[11] Ibid., hlm. 42.
[12] Ibid., hlm. 23.
[13] Ibid., hlm. 33.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Liht. Ibnu Taimiyah, Siyasah Islamiyah, tr. Oleh Rofi’ Munawwar, ed. and abrd. oleh Koes Adiwidjajanto, Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 2005, hlm. Ix-x.
[17] Ahmad Syafii Maarif, Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996 hlm. 25.
[18] Ibid., hlm.34-35.

Komentar